Tak hanya dunia untung-buntung yang dibuat buntu oleh pagebluk ini. Tetapi juga nalar sebagian manusia turut buntu dibuatnya. Nalar yang buntu dapat menjadi penuntun ketidakwarasan jika akal sehat jatuh sakit, tak kuasa menahan serangan pagebluk. Manusia-manusia menolak patuh tunduk terhadap protokol kesehatan berdalilkan konspirasi, sudah cukup menjadi contoh. Separuh wajah tak berhijab di tengah keramaian, menolak rapid test, bergumul tanpa jarak adalah bisa jadi adalah symptom penanda keberadaan penganut aliran ini.
Kadang kita agak sulit menuntun pikiran kita menapaki jengkal demi jengkal jalan pikiran mereka. Sebab realitas menunjukkan bahwa virus yang hingga saat ini silsilahnya masih diperdebatkan nyatanya berbahaya bagi manusia. Buktinya, korban sudah berjatuhan. Bukan satu atau dua saja tetapi jutaan manusia telah jadi korban. Bahkan tenaga medis yang tak diragukan lagi keilmuannya akan masalah ini tak luput jadi korban. Maka atas alasan itu dibuatlah protokol kesehatan sebagai bentuk tolak bala atas bala yang menyertai wabah ini.
Dengan demikian, hakikat keberadaan protokol kesehatan ini bukan karena hakikat keberadaan wabah ini tetapi atas bahaya yang menyertainya. Jadi entah hakikat dari pagebluk ini adalah konspirasi atau bukan, protokol kesehatan tetap ada untuk dipatuhi sebagai mitigasi bahaya yang ikut serta bersamanya. Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa mereka begitu mudahnya percaya dan menjadi penganut bahkan pembela pandangan ini? Apa gerangan yang melatarinya.
Menurut saya, asal muasal penyebabnya berawal dari pendidikan yang gagal. Sebab hal ini terkait pola pikir. Gagalnya pendidikan bukan salah dari pemberi pendidikan tetapi cara mereka menerima pendidikan. Rasionalisasinya adalah tidak semua orang di negara ini menjadi sepaham dengan pemahaman ini. Bahkan bisa jadi sebagaian besar kontra terhadapnya. Symptomnya adalah Orang-orang pada umumnya patuh terhadap protokol kesehatan yang dibuktikan dengan banyaknya orang bermasker di tengah keramaian, cairan pemati kuman siap sedia di saku celana, cuci tangan sebelum makan, dll.
Salah satu kesalahan mereka bisa jadi karena akalnya tidak dituntun untuk terlibat serta selama proses pendidikan diserahterimakan. Mereka mengandalkan hafalan untuk menyelesaikan proses serah terima tersebut. Akibatnya terlahirlah alumni dengan nilai sertifikat ijazah nilainya terang menderang tetapi akal terpasung dalam kegelapan. Akibatnya seperti yang kita sekarang. Bertebaranlah orang-orang yang nalarnya sulit dimengerti membuat suasana makin keruh.
Lakon yang banyak dipertontonkan di hari-hari terakhir ini mengajarkan kita akan pentingnya memahami hakikat pendidikan yang sebenarnya sebelum menerima pendidikan. Ketika membuka lembaran kitab-kitab tua namun tak lekang waktu, karya para ulama dan filsuf , kita akan menemukan sebuah kesamaan jawaban akan hakikat pendidikan. Jawaban itu adalah pendidikan pada hakikatnya untuk menghidupkan akal sebagai tuntunan dalam usaha mengenal dan mengamalkan hukum alam semesta serta menyembah pencipta-Nya. Bukan menghafal kitab sebanyak-banyaknya untuk kemudian ditinggalkan dan dilupakan tanpa bekas ketika selembar kertas pengakuan telah diterima.
Comments
Post a Comment