Skip to main content

Cerita Sebungkus Nasi Kuning Jadi Honor Pertama dari Menulis

Tulisan dibayar pake uang bagi sebagian blogger adalah impian.  Saya pun demikian.  Mengapa tidak? Menulis untuk uang sama sekali jauh dari kata tabu untuk diimpikan? Sebab jika penulis dipandang sebagai profesi, maka itu adalah profesi yang halal sepanjang si penulis menulis yang baik-baik saja. Hanya bagi saya, uang dari tulisan sebatas bonus tambahan untuk melengkapi rasa puas yang saya dapatkan setelah menulis. Sebab kepuasan batin adalah motif utama kenapa saya menulis.   Apalagi jika pembaca berkenan berkomentar atas tulisan yang terpublish, kepuasan itu jadinya berlipat-lipat.

Pengalaman pertama tentu berkesan.  Mungkin sebagian besar orang sepakat dengan pernyataan ini.  Cinta pertama, pandangan pertama, atau cinta pada pandangan pertama dan yang pertama-pertama lainnya tentu selalu tersimpan dan terjaga dengan baik dalam memori otak. Kesan atas yang pertama-pertama makin tertancap dengan kuat dalam chip memori otak, ketika yang pertama itu telah lama diimpikan untuk menjadi kenyataan.  Bagi penulis yang mengimpikan uang dari tulisan, honor pertama tentu sangat berkesan.  Sebagian blogger termasuk saya kadang penasaran bagaimana rasanya menerima honor dari tulisan. Membaca sms banking yang berisi pesan bahwa honor dari menulis telah masuk ke rekening anda adalah salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu.

Kapan waktu itu tiba adalah hal yang selalu dinanti oleh penulis yang berimpikan demikian.  Lalu bagaimana jika honor pertama bukan uang tetapi justru bentuknya lain yang tak terpikirkan sebelumnya? Kalau yang ini saya punya cerita tersendiri karena terjadi kepada saya.  Skenario Allah kadang lain dari yang diimpikan.  Impiannya uang tapi kenyataannya adalah sebungkus nasi kuning sebagai honor pertama.  Tapi semua harus diterima bahkan bagi saya harus disyukuri karena ada kejadian unik yang sebagai bumbu penyedap di dalamnya.  Kejadian unik ini bahkan lebih menarik diceritakan dibanding jika seandainya honor pertama saya adalah uang.  Daripada penasaran, maka dari itu saya akan menceritakan lewat tulisan ini.

Cerita bermula ketika beberapa waktu yang lalu saya iseng-iseng belajar membuat review makanan lewat tulisan yang dikemas dalam bentuk cerita. Tulisan ini kemudian saya posting di blog pribadi ini dan sebarkan melalui channel sosmed dengan judul "Nasi Kuning Pangkep Cabang Ampera : Hidung Terhipnotis, Lidah Termanjakan". Beberapa jam setelah postingan ini tersebar, salah seorang sahabat bertanya lewat pesan whatapp apakah makanan ini betul enak.  Enak, coba saja jawabku singkat.

Beberapa hari kemudian sepulang jogging, ada panggilan masuk tak terjawab di smartphone saya. Smartphone ketika jogging sengaja saya simpan di rumah agar tidak terganggu bunyi pesan atau panggilan masuk saat jogging. Setelah dicek ternyata dari sahabat tadi.  Karena khawatir ada yang penting, maka saya langsung telepon balik.  Dan ternyata dia cuma menelpon mau mengajak saya untuk beli Nasi Kuning Pangkep yang telah dia baca reviewnya.

Seminggu telah berlalu, rasa kangen dengan aroma dan rasa Nasi Kuning Pangkep tak tertahankan.  Saya pun bertanya kepada istri apakah pagi ini saya boleh sarapan dengan nasi?  Mungkin ada yang bertanya ada apa dengan sarapan pake nasi.  Kenapa jika ingin sarapan nasi mesti minta izin ke istri? Apakah saya termasuk golongan suami-suami dalam pengaturan istri?

Itu semua karena saat ini saya sedang berusaha menurunkan berat badan dan istri menjadi personal trainer untuk tujuan tersebut.  Menurut si personal trainer, salah satu cara menurunkan berat badan adalah tidak sarapan pagi dengan nasi dan berolahraga teratur.  Karena menurut saya masuk akal, maka saya nurut aja.  Toh saya tidak punya otoritas keilmuan untuk membantahnya karena memang dia orang kesehatan sementara saya orang kehutanan.

Sudah tiga hari saya mengikuti program dari personal trainer saya.  Sarapan dengan nasi pun diganti dengan kue-kue berbahan tepung.  Itu pun dibatasi hanya tiga biji.  Ngak boleh lebih dari itu. Nasi pun hanya jadi menu untuk makan siang dan sore.  Sebenarnya saya ngak boleh makan sore dengan nasi tetapi belum bisa saya terapkan.  Sebab bagi saya kalau belum makan nasi, rasanya belum makan.

Di hari keempat, saya rehat sejenak dari program ini. Nasi goreng pangkep pun jadi pilihan. Setelah mendapat izin si personal trainer dengan syarat dia juga mau icip-icip sedikit, saya pun ke Pasar Ampera untuk membeli Nasi Kuning Pangkep dengan naik motor.  

Seperti biasa, dari kejauhan orang-orang terlihat berkerumun mengantri mengelilingi gerobak kecil, tempat Nasi Kuning Pangkep dijajakan. Semakin mendekat, sembari mencari parkiran kosong pandangan saya makin fokus ke seseorang yang berdiri diantara kerumunan penikmat Nasi Kuning Pangkep.  Kenapa demikian, karena sepertinya orang tersebut saya kenal.

Benar saja, itu adalah sahabat yang tempo hari mengajak saya ke Nasi Kuning Pangkep.  Dia datang jauh-jauh dari Hamadi Resimen ke Pasar Ampera demi menikmati Nasi Kuning Pangkep.  Dugaan saya pagi ini akan ada rezeki nasi kuning gratis.  Sebab dari kemarin dia mengajak saya sini.  Tujuannya apa lagi selain mentraktir nasi kuning.  Traktir ini mungkin sebagai penghargaan atas  tulisan di blog yang menginformasikan bahwa ada nasi kuning enak di Pasar Ampera.

Untuk menghindari kerumuman, saya pun menitip kepada sahabat saya sebungkus nasi kuning dengan menu telur ++ alias telurnya dua.  Satu untuk saya, dan satunya lagi untuk istri yang merangkap jadi personal trainer. Seporsi Nasi Kuning Pangkep bagi kami cukup untuk dimakan berdua.  Sebab porsinya jumbo.  Jadi kalau untuk makan sendiri,biasanya saya memesan porsi 1/2 saja.

Tak beberapa lama, sahabat saya keluar dari kerumunanan membawa nasi bungkus yang kantongnya dipisah dua.  Satu kantong yang berisi satu bungkus nasi kuning untuk saya dan satu  kantong lagi yang berisi beberapa bungkusan untuk dia. Ketika saya akan mengganti uangnya, dia menolak.  Berarti dugaan saya benar, hari ini ada rezeki nasi kuning gratis.  Sembari menyerahkan nasi kuning tersebut, dia bercerita sudah empat hari datang ke sini untuk membeli nasi Kuning Pangkep. 

Sebungkus Nasi Kuning Honor Pertama dari  Menulis

Kenapa demikian karena Nasi Kuning Pangkep Cabang Ampera ini rasa dan aromanya sama dengan Nasi Kuning racikan Haji Nur yang dulu berjualan di Entrop.  Sebuah tempat berjarak sekitar 10 kilometer dari Pasar Ampera.  Haji Nur itu seorang perempuan bukan laki-laki.  Kenapa dipanggi Haji bukan Hajja padahal ia perempuan karena bagi kami orang bugis, semua orang yang sudah menunaikan ibadah haji baik laki-laki maupun perempuan semua dipanggil Haji. Kata ibu Hajja tidak ada dalam kamus kosa-kata orang bugis. 

Nasi kuning Haji Nur dulu begitu digemari banyak orang termasuk sahabat saya tadi.  Jadi bisa dipastikan, dulu nasi kuning Haji Nur selalu rame seperti Nasi Kuning Pangkep Cabang Ampera sekarang.  Setelah mengulik informasi, rupanya ibu penjual Nasi Kuning di tempat ini dulunya bekerja di Haji Nur.  Itulah kenapa rasanya sama karena diracik oleh mantan anak buah.

Aroma khas pembangkit selera makan dari Nasi Kuning Pangkep  membuat kami sepertinya tidak sabaran melahap habis nasi kuning tersebut. kami pun bergegas meninggalkan kerumunan orang yang masih mengantri dengan arah berlawanan.  Kenapa berlawanan, karena rumah kami arahnya berlawanan jika dari Pasar Ampera.  Saya ke arah kompleks ruko di kota sementara sahabat saya ke arah Pasar Hamadi.

Diperjalanan menuju rumah, saya baru sadar kalau ada kisah unik dibalik sebungkus nasi kuning dari sahabat saya tadi. Unik karena nasi kuning ini seperti honor pertama saya dari tulisan.  Sebab seingat saya, hingga saat ini belum pernah mendapatkan materi termasuk uang dari menulis.  Sebagai penulis abal-abal dan kambuhan karena tidak istiqomah, tulisan saya dulu memang pernah dimuat di media.  Tapi saya ngak pernah mendapat honor karena malas ke kantor koran yang memuat tulisan tersebut untuk mengambil honor.  Jadinya honor tersebut untuk mereka saja yang penting tulisan termuat di korannya dan terbaca oleh banyak orang.

Selain dapat bayaran bukan uang tapi sebungkus nasi kuning, hal yang unik lainnya adalah kalau pada umumnya reviewer makanan mendapat honor dari owner bisnis makanan, maka bagi saya sebaliknya.  Justu honornya bukan dari owner tetapi dari customer yang terpapar tulisan saya. Ini mungkin jarang terjadi. Sebab dimana-mana reviewer makanan dibayar oleh owner bisnis makanan.  Dalam kasus ini pihak yang paling mujur adalah ibu  si owner Nasi Kuning Pangkep.   Ia mendapat pelanggan setia karena tulisan saya tanpa perlu membayar saya yang telah menghabiskan beberapa waktu untuk membuat review nasi kuningnya. 

Ketika ditanya apakah saya iri kepada ibu penjual Nasi Kuning Pangkep atas ketidakadilan ini? Tidak adil karena ibunya dapat rupiah kerena tulisan saya sementara saya hanya kebagian sebungkus nasi kuning yang itu pun dibeli dari si ibu lagi. Jadi istilahnya ia menang banyak.

Bagi saya pribadi yang motif menulisnya untuk mengejar kepuasan batin, rasa iri tak pernah terpikir oleh otak apalagi sampai terbawa rasa hingga ke hati.  Justru kepuasan saya berlipat-lipat melihat ibu penjual Nasi Kuning Pangkep dikerumuni pelanggan setia.  Sebab kita memang butuh uang, tapi hidup tak selamanya untuk uang.  Ada hal-hal lain yang lebih berharga dan membahagiakan selain uang.  Salah satunya hati yang tenang karena telah membantu sesama.  Walaupun bantuan itu tidak seberapa, tetap ada pahala dari Tuhan yang tak mampu terhitung oleh rumus matematika manusia.  Dengan syarat, bantuan itu berlatar keikhlasan bukan karena ada udang dibalik batu.  

Lagi pula, rasa Nasi Kuning Pangkep dari sahabat tadi yang menggoyang lidah dan menghipnotis hidung sudah lebih dari cukup.  Saking enaknya, saya dan istri melahapnya tanpa henti hingga potongan telur terakhir.  Kami berdua terhipnotis dengan aroma dan rasanya sehingga membuat istri sekaligus personal trainer saya lalai terhadap tugasnya mengingatkan agar tidak makan nasi banyak-banyak, nanti tambah gendut sebagai buah dari program pengurusan yang gagal.  Dan hal yang unik lagi di sini adalah untuk pertama kalinya saya menafkahi istri dari hasil tulisan.  Untuk anak saya belum, karena pagi ini dia masih tertidur lelap.  Semoga di lain kesempatan dia bisa menikmati makanan yang dibeli dari honor tulisan bapaknya.  
  











Comments

Popular posts from this blog

Berbagi Pengalaman Mengurus KTP yang Hilang pada masa Pandemi Covid19 di Dukcapil Kota Jayapura

Mungkin ada sebagian orang yang penasaran akan rupa pelayanan publik di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kota Jayapura di masa Pandemi Covid19 ini.  Untuk itu saya akan bercerita sekelumit pengalaman pribadi ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang hilang. Semoga cerita ini dapat memberikan sedikit gambaran akan rupa pelayanan publik di Dukcapil Kota Jayapura saat ini. Semua bermula ketika saban hari saya kehilangan dompet yang berisi KTP dan beberapa surat penting di dalamnya. Untuk itu, mengurus KTP yang hilang menjadi prioritas pertama dibanding surat-surat penting lainnya. Sebab untuk mengurus yang lain selalu mensyaratkan KTP. Setelah mengurus Surat Kehilangan Barang dari Kepolisian setempat, segera saya mencari informasi tentang prosedur pengurusan KTP yang hilang. Seperti biasa, bertanya ke sahabat yang sehari-hari bekerja di lingkungan Pemkot Jayapura adalah cara cepat mendapatkan informasi akurat dan terpercaya terkait pelayanan publik di kota ini.  Da

Mengintip Peluang Bisnis dari Isi Tas Corona

Model Tas Corona (Sumber : WAG)  Pandemi Covid19 mendistrupsi dunia. Sebuah realitas tak terbantahkan saat ini. Budaya manusia pun tak luput  terdistrupsi.  Sebelum musuh tak terlihat ini hadir, interaksi manusia begitu bebas tak berjarak.  Namun dengan kehadirannya, budaya social distancing , physical distancing, jaga jarak atau apapun istilahnya beserta turunan-turunannya, tiba-tiba terlahir dan menjadi budaya baru manusia seantero jagad. Fenomena ini bukan lagi evolusi tetapi revolusi budaya. Sebab dalam tempo hanya sekitar tiga bulan budaya manusia tiba-tiba berubah, dari interaksi yang begitu luwes menjadi terbatas. Perubahan budaya yang sangat cepat ini disebabkan karena sepertinya manusia terbatasi waktu untuk menformulasikan model adaptasi baru menghadapi Covid19. Dari sudut pandang sosiologi, perubahan budaya seperti ini terlahir sebagai respon manusia terhadap serangan covid19 yang mengancam eksistensinya.  Dari sudut pandang biologi, teori evolusi Charles Darwin menyebutkan