Bagi Anda yang berdiam di Papua tepatnya di Kota Jayapura, dari judul mungkin sudah bisa menerka, hal apa gerangan yang akan saya ceritakan malam ini. Itu karena kita sama-sama saksi fenomena unik ini. Tapi bagi anda yang berdiam di kota atau tempat lain, itu lain lagi. Kita sedang berada pada posisi dan situasi berbeda. Jadi jangankan menerka, mengerayangi alur cerita pun tak sanggup karena semuanya masih gelap. Karena kegelapan itulah, bisa jadi ada yang langsung menjudge, ini pasti cerita sampah. Cerita sampah setara konten sampah yang rame diproduksi youtubers akhir-akhir ini.
Untuk itu, agar yang gelap-gelap segera terang, izinkan saya cepat-cepat bercerita. Bukankah lebih cepat lebih baek? Kata Yusuf Kalla, tokoh Bugis-Makassar yang kisahnya sedikit unik karena pernah dua kali menjadi Wapres pada waktu tak berurutan mendampingi dua Presiden berurutan tapi beda orang.
Corona yang baru ada tak hanya baru bagi keberadaannya. Tetapi juga memaksa makhluk lain menciptakan kebaruan sebagai bentuk adaptasi terhadap keberadaan tamu tak diundang tersebut. Adaptasi agar tetap bertahan hidup tentu saja. Tak terkecuali manusia, corona yang baru lahir memaksa manusia berperilaku baru jika ingin bertahan hidup. Perilaku baru yang bisa jadi banyak manusia benci padanya. Agar benci berubah menjadi cinta, Pemerintah pun terpaksa turun tangan sebagai mediator untuk mendamaikan keduanya. Jangan heran, razia manusia tak bermasker ada di mana-mana. Itu agar rasa benci manusia akan masker penutup separoh wajah berubah jadi cinta. Cinta yang terbangun diatas keterpaksaan. Tapi itu tak jadi soal. Bukankah dulu nenek moyang kita banyak yang awalnya benci jadi cinta pake nikah paksa. Toh mereka pada akhirnya baik-baik saja. Bahkan hubungan mereka kebanyakan langgeng. Sehidup semati. Melahirkan banyak anak cucu atas nama cinta. Dan bisa jadi kita termasuk di antara anak cucu tersebut.
Sebelum corona terlahir, menjadi langka dan sedikit aneh ketika menemukan manusia bermasker di jalanan kota ini. Manusia bermasker bisa dihitung jari. Palingan mereka itu adalah golongan orang-orang peduli atau terpaksa karena kesehatan. Namun, setelah kelahiran corona yang tidak diinginkan, keadaan justru berbalik 180 derajat. Jalan-jalan dipenuhi manusia bermasker. Benak manusia akan berubah mencerca ketika melihat orang tak bermasker berkeliaran di mana-mana. Pemerintah tak ketinggalan, himbauan dan razia manusia tak bermasker digalakkan seantero kota.
Kadang dibalik fenomena, ada kelucuan-kelucuan yang berkelindan di dalamnya. Tak terkecuali fenomena manusia bermasker, kelucuan-keluacuan berkelindang di sisi lain fenomena ini. Coba perhatikan pengendara motor di jalan-jalan Kota Jayapura. Setidaknya setelah PSBB mulai dilonggarkan. Begitu banyak pengendara motor ngak pake helm tapi pake masker. Bagi saya ini agak lucu. Kadang saya senyum-senyum sendiri jika penasaran dengan apa tujuan mereka berlaku seperti itu. Jika masker dikenakan atas alasan keselamatan, bukankah helm juga demikian. Bedanya, helm dikenakan untuk menjaga diri saat kecelakaan, sementara masker dikenakan untuk menjaga diri dari paparan corona.
Sembari senyum-senyum sendiri atas kelucuan itu, otak saya langsung bekerja. Mode segera bergeser ke otak kiri, menganalisis pertanyaan turunan dari kelucuan tadi. Pertanyaan turunan tersebut tidak lain tidak bukan adalah mengapa mereka ada yang lebih memilih mengenakan masker dibanding mengenakan helm? Bukankah mengenakan masker dan helm dimaksudkan untuk hal yang sama. Berlindung dari bahaya yang meskipun keduanya berbeda tetapi resikonya tetap sama yaitu sama-sama mematikan. Bahkan kematian karena kecelakaan lalu lintas lebih tinggi dibanding kematian karena corona di Indonesia.
Hal ini merujuk pada data Kementerian Perhubungan bahwa di Indonesia dalam setiap 1 jam, 3 orang meninggal karena kecelakaan. Sementara corona, Alhamdulillah sejauh ini masih bisa tertahan pada angka kematian 1 orang per jam. Angka ini dihitung dari angka kematian terakhir tanggal 5 Juli 2020 sebanyak 3.171 jiwa dibagi 126 hari yang merupakan jumlah hari sejak ditemukan kasus pertama kali di Indonesia tepatnya tanggal 2 Maret 2020 hingga hari ini, tanggal 5 Juli 2020.
Mengandalkan asumsi, akhirnya jadi pilihan instan untuk menjawab keingintahuan saya untuk sementara. Agar asumsi lebih presisi, mengingat kembali fakta empiris penanganan corona di Kota Jayapura adalah langka awal menemukan jawaban. Setelah menskimming satu per satu kebijakan terkait penanganan corona, pikiran saya akhirnya fokus pada salah satu lembaran kebijakan. Kebijakan tersebut adalah penerapan sanksi sosial bagi pengendara kendaraan tak bermasker.
Bentuk sanksi adalah setiap pengendara yang melanggar diberi hadiah Rompi Pesakitan berwana merah bukan orange bertuliskan "OKB Orang Kepala Batu Karena Tidak Mengenakan Masker". Rompi tersebut wajib dikenakan sambil berdiri di pinggir jalan atau membersihkan jalan dan menjadi tontonan atau bisa juga dijadikan objek foto warga dan pengendara yang melintas.
Kerja Sosial Bagi Pengendara Tak Bermasker (Sumber : Papuainside.com) |
Asumsi saya diperkuat dengan cerita seorang pencuri ternak saat masuk bui. Menurut pengakuannya, hukuman terberat yang diterima saat masuk bui bukan bogem mentah yang diterima saat diintrogasi atau saat di dalam lembaga pemasyarakatan, melainkan saat digiring polisi keliling pasar kecamatan sambil berteriak " Saya Pencuri Ternak". Momen tersebut baginya sangat berat karena malunya tuh di situ. Malu karena seisi pasar menjadi saksi dan menertawakan dirinya sebagai seorang pencuri ternak.
Namun, jawaban ini tentu belum cukup atau masih lemah sebagai sebuah kebenaran. Tingkat kebenarannya masih pada tangga kedua dari keseluruhan tangga kebenaran. Untuk itu, jika ada yang berminat, ada baiknya jawaban ini dikaji secara ilmiah agar kebenarannya bergerak ke tangga berikutnya. Mungkin kelihatan sepele, tapi dalam kajian sosial sesuatu yang sepele bisa disulap menjadi sesuatu yang menarik dan berharga. Dalam filsafat ilmu, urutan tangga kebenaran dari terlemah hingga terkuat dimulai dari anak tangga Fakta, Asumsi, Hipotesis, Teori, Hukum, hingga tangga terakhir yaitu Dogma.
Fenomena "Ngak Pake Helm Tapi Pake Masker" tiba-tiba mengingatkan saya dengan statemen seorang penegak hukum yang mengatakan bahwa tak selamanya penjara bisa menyelesaiakan kejahatan. Bahkan seorang penjahat bisa naik level setelah dipenjara. Dari yang dahulunya hanya sekedar pemakai narkoba, namun setelah keluar dari penjara dia bisa naik level menjadi pengedar bahkan bandar. Hal ini karena di penjara mereka memiliki peluang belajar kejahatan dari penjahat yang lebih berpengalaman di dalamnya. Sebab kejahatan adalah sesuatu yang bisa dipelajari.
Jadi menyelesaikan kejahatan di luar penjara atau bahasa hukumnya non-litigasi juga bisa jadi alternatif. Sanksi sosial termasuk diantara pilihan-pilihan tersebut. Bahkan terkadang pilihan non-litigasi lebih efektif dan efisien dibanding litigasi karena tidak membebani negara. Penyelesaian non-litigasi tidak menyebabkan penjara-penjara penuh yang selama ini menjadi beban negara. Coba bayangkan, berapa orang yang masuk sel seandainya penyelesaian pelanggaran aturan bermasker menggunakan jalur litigasi. Berapa banyak biaya dan tenaga yang seharusnya digunakan untuk penanganan pandemi ini tetapi habis untuk mengurus perkara.
Penyelesaian non-litigasi memungkinkan orang berkasus dapat kembali hidup bebas setelah masalahnya selesai atau diselesaikan, tanpa terlebih dahulu meringkuk di jeruji besi yang membeni negara dan keluarga. Contohnya pelanggar aturan bermasker tadi. Setelah jadi obyek tertawaan di keramaian kota, mereka akan bebas lagi dan akan berfikir ulang jika akan melanggar lagi. Hal ini karena ada malu yang dibawa pulang ke rumah yang hilangnya lama. Lamanya selama waktu yang dibutuhkan dirinya melupakan kejadian itu.
Cukup sekian cerita saya. Karena separoh malam telah lewat, ada baiknya kita ke peraduan. Agar jiwa raga yang lelah kembali pulih, sebagai bekal mengarungi kehidupan di hari esok. Selamat tidur semuanya.
Comments
Post a Comment